Malam hampir menjelang dini hari, langit hitam kelam. Tiada bintang yang bertebaran, atau bulan yang bersinar seutuhnya atau hanya secekung sabit, atau pernak-pernik lainnya di langit yang sunyi. Sangat sunyi terasa, sunyi sekali, tanpa apapun, dimanapun kumemandang.
Aku berjalan sendiri di malam buta ini, tanpa penerangan yang berarti. Jaket kulit tebal berwarna coklat kehitaman yang kupakai sejak turun dari bis yang berhenti tepat di depan gerbang jalan menuju kampung halamanku ternyata tidak berarti banyak, rasa dinginnya malam tetap menusuk tulang melewati kumpulan lemak di tubuhku. Tak hanya itu, rasa tak nyaman dan gelisah menyelimuti perasaanku, terasa sangat aneh. Entah aneh dari segi apa, atau hanya perasaanku saja karena lama tidak berjalan pada jalan sesunyi dan segelap ini.
Dahulu, atau bertahun-tahun yang lalu, saat malam buta seperti ini aku takkan dapat melihat apapun, berjalan pun harus dengan perlahan jika tak ingin salah melangkah. Dan ternyata, sama halnya sekarang, tak banyak perubahan yang tampak terjadi di kampung ini, khususnya pada jalan setapak yang menjadi satu-satunya menuju pemukiman penduduk di kampungku. Bertahun-tahun telah berlalu, tetapi di jalan ini tetap tak ada penerangan yang memadai. Ironi sekali, tampaknya pemerintah tak berubah, desaku tetap terkebelakang pembangunannya. Sudah kuduga, dan memang sudah biasa, saat malam hari takkan ada orang yang bisa kutemui atau kujumpai disepanjang jalan setapak berbatu seperti ini ataupun di daerah pemukiman penduduk sekalipun.
“Kemana semua orang? Tidurkah?” gumamku bertanya-tanya, “Inikah yang namanya desa? Sepi!” sambungku lagi seolah-olah tak percaya dan tak pernah melihat kondisi seperti ini.
Aku tahu, bahwa kampung seperti ini akan sangat berbeda dengan perkotaan tempatku menetap mencari nafkah selama bertahun-tahun. Aku sadar hal itu, tetapi perasaanku seolah tak ingin menerima hal itu. Jika di kota, walau malam telah larut, kota takkan pernah sepi. Walau tak banyak, tetapi pasti ada orang yang dapat kujumpai, meskipun hanya seorang pemulung yang sedang berkeliling, atau seorang pembersih jalan yang sedang menyapu jalan yang berdebu. Berbeda dengan desa atau kampungku ini, takkan bisa kujumpai orang yang sedang berjalan di malam larut seperti aku ini, walau sekedar petugas ronda malam misalnya.
Aku ingat, tepat di pinggir jembatan kecil yang sedang kusembrangi ini, seharusnya terdapat sebuah kursi panjang tua yang selalu diduduki oleh seorang hansip tak resmi, begitulah aku menyebutnya. Tetapi, dibangku itu tak ada seorang pun, baik hansip itu ataupun orang lain. Mungkin saja hansip tak resmi yang kerap dipanggil Pondo itu sedang berkeliling mengelilingi kampung seraya menenteng lampu senter berukuran besar, sehingga aku tidak bertemu dengannya di jembatan ini.
Jembatan kecil itu telah kusembrangi, selanjutnya jalan yang tengah kulewati ini adalah jalan utama menuju pemukiman penduduk di kampungku. Walau tak selebar dan sebagus jalan raya tapi cukup untuk masuk mobil, walau aku tahu jarang sekali mobil hendak masuk ke kampungku, terlebih karena fasilitas jalan yang kurang memadai, terlebih lagi jika hujan turun, jalan setapak itu bisa berubah menjadi kubangan lumpur yang mungkin saja dapat membahayakan pengendara mobil ataupun motor.
Kalau siang hari suka ramai orang berlalu lalang yang mau pergi atau pulang dari kota. Di samping gerbang depan jalan yang berpapasan jalan raya sebenarnya ada sebuah pangkalan ojek. Warga desa, umumnya para pemuda yang bermata pencaharian sebagai tukang ojek pasti suka mangkal di situ. Tetapi kalau malam hari seperti ini mereka tak tampak. Entah karena takut, atau tak ingin terkena dinginnya malam seperti saat ini. Tetapi, buat apa mangkal mangkal malam hari, toh hampir tak ada penumpang yang mau pulang atau pergi malam hari. Akibatnya jika kebetulan ada yang pulang pada malam hari seperti aku ini, terpaksa harus jalan kaki.
Bisa saja aku menghubungi seseorang agar bisa menjemputku di pangkalan ojek atau di tempat lain di kampung ini, tetapi aku berpikir apakah masih ada orang yang terjaga di malam selarut ini, dan bersediakah mereka menjemput orang sepertiku, seorang pemuda yang bisa dikategorikan lupa terhadap kampung halamannya.
“Nak, kalau sudah sukses di kota, jangan lupakan kampung halamanmu ya,” pinta Ibuku sewaktu aku hendak pergi merantau ke kota. Kupandang sosok Ibuku, sedih rasanya jika harus berpisah dengan beliau. Ibu terlihat sangat tua di usia ke-42 itu, mungkin karena faktor kelelahan bekerja, dsb. Wajahnya pucat, kerutan dengan jelas terlihat di wajahnya, daster ungu bermotif bunga mawar dan jilbab orange pemberian almarhum ayah yang dikenakan beliau sebenarnya telah pudar termakan waktu. Tetapi tidak mengurangi kecantikan dan kelembutan beliau sebagai seorang Ibu, seorang single-parent di kampung ini.
“Insya Allah Bu, Pinto tidak akan lupa dengan kampung tercinta ini.” balasku. Saat itu memang aku bersungguh-sungguh mengatakannya. Tetapi sekarang, tampaknya perkataanku tak sesuai tingkah lakuku.
“Janji ya, nak? Demi Ibu, demi Almarhum Bapak dan Adikmu, demi Kakakmu sebagai tulang punggung keluarga kita, demi Acilmu yang banyak membantu Ibu, dan semua orang di kampung ini?” pinta Ibuku lagi, aku terharu dan menitikkan air mata. Aku akui, di saat seperti ini, seorang kesatria yang tegar dan pemberani pun pasti akan terharu dan menitikkan air mata. Apalagi aku, hanyalah pemuda biasa, pasti akan terharu dan menitikkan air mata, ku tahu itu.
“I-iya, Bu. Pinto janji! Janji sama Ibu!” balasku berusaha tegar dan membahagiakan Ibuku.
Mengingat janji yang kuucapkan waktu itu, kembali membuat hatiku miris. Apa tanggapan Ibu dan keluargaku? Aku berjanji untuk sering mengirim kabar, dan setiap lebaran kuusahakan agar bisa kembali ke desa. Nyatanya, dari 5 kali lebaran Idul Fitri dan Idul Adha, hanya 1 kali aku pulang kampung. Itupun pada tahun pertama aku di kota, sisanya kuhabiskan lebaran di kota, lantaran terikat pekerjaan yang kuterima.
Ku tegok pohon beringin besar yang berada tak jauh di depanku, aku ingat pohon itu sebagai tanda adanya simpangan pertama dan satu-satunya di desa ini. Dari dahulu aku heran, mengapa simpangan jalan di kampungku hanya ada satu? Dan mengapa pula letaknya tepat di samping pohon beringin? Bagiku itu tidaklah strategis, karena letak dan ukuran pohon beringin ini bisa menghalangi pandangan dan akibatnya membahayakan jalur orang yang berjalan atau berkendara menyusuri jalan. Seandainya di kota, mungkin pohon ini akan di tebang, tidak peduli keramat atau tidak, yang penting nyaman dan aman.
Aku berhenti sejenak di pohon itu, kutatap sosok pohon besar dan tua itu, walau sebelumnya dalam pikiran terlintas untuk menebangnya, tetap ada setitik rasa syukur lantaran pohon yang telah di anggap sebagai aset berharga kampungku ini masih bisa berdiri dengan tegap. Merasa cukup melihatnya, aku teruskan berjalan karena pemukiman penduduk tidak jauh di depanku. Samar-samar terlihat cahaya dari masing-masing rumah sederhana milik warga kampung ini. Perasaanku bercampuk aduk, antara bingung, senang, sedih, takut, khawatir, dsb.
Rumah Pak Fajar telah kulewati, terdengar suara volume TV dari dalam rumahnya. Entah Pak Fajar masih terjaga lantaran kebiasaannya begadang sampai dini hari atau hanya TVnya yang masih menyala lantaran lupa di matikan, aku tak tahu. Rumah Pak Fajar sebagai rumah pertama di kompleks pemukiman ini di susul oleh rumah pasangan Pak Oyi dan Bu Oyi dalam jarak kurang lebih 10 meter, setelah itu barulah terdapat rentetan rumah penduduk lainnya, cukup rapat, tidak serenggang yang dahulu. Rupanya pohon-pohon rindang yang menjadi tiang-tiang pembatas telah diganti dengan tiang-tiang sesungguhnya dari rumah-rumah baru penduduk desa.
Dahulu rumahku berada di ujung desa, tidak terlalu ujung sih, tetapi bisa dikategorikan seperti itu. Lantaran tak ada rumah yang mendampingi rumahku, lebih tepatnya belum ada pada saat itu, entah sekarang, masih sendiri atau telah banyak rumah yang didirikan di dekat rumahku.
Aku tiba di depan rumahku, aku terpana, terdiam, langkahku terhenti. Ternyata benar, kini rumahku tak sendiri. Ada sekitar 4-5 rumah yang berada tak jauh dari rumahku, lumayanlah bisa mengurangi rasa sepi lantaran hidup tanpa tetangga. Air mataku meleleh lagi, akhirnya aku bisa tiba di rumahku yang kusayangi, keluargaku yang kucintai akan bisa kutemui. Sesaat, terlintas dipikiranku banyak hal. Akankah Ibu masih mengakuiku sebagai puteranya? Akankah mereka bisa menerimaku dengan kesalahan yang telah kuperbuat? Kesalahanku telah melupakan mereka, kehidupan perkotaan membuatku lupa, pahamkah mereka? Ataukah mereka tidak mengharapkan kehadiranku?
Berbagai permasalahan muncul, dan akhirnya ku putuskan untuk mengetuk pintu rumahku. Perjuanganku tak gampang, demi bertemu Ibu pada ulangtahunnya ke 48 ini, aku rela menempuh perjalanan panjang, melakukan persiapan selama 1 bulan untuk cuti selama 1 minggu, berjalan kaki di malam yang menjelang dini hari, hal itu takkan mudah.
Tok.tok.tok
“Aa-assalamu’alaikum!” sapaku berusaha tegar.
“Wa’alaikumsalam, siapa ya? Malam-malam seperti ini? Tunggu sebentar!” sahut salah seorang suara perempuan tua dari dalam rumah. Aku terpana dan terdiam, tak kusahut suara itu. Suara yang sangat ku kenal, tidak banyak berubah, hanya saja lebih pelan. Suara Ibu, tidak salah lagi, pasti Ibu. Tak lama, pintu pun terbuka.
“Subhallah. Pinto-pinto? Ini Pinto?” Tanya Ibu tak percaya dan langsung memelukku. Ku balas pelukan Ibu. Aku tak mampu berkata-kata, memeluk Ibu, hanya itu yang bisa ku lakukan. Aku sayang Ibu.
****
Irvan Ramdanie, lahir di Samarinda, 10 Maret 1994. Bersekolah di Madrasah Aliyah Negeri 2 Samarinda pada kelas XII jurusan Bahasa.
0 komentar:
Posting Komentar