Minggu, 27 November 2011

Cinta Seorang Gadis Cantik

Aku seorang perempuan remaja yang beranjak dewasa. Dengan tinggi 160 cm, rambut hitam panjang, melewati pundak. Aku terlihat cukup sempurna di mata lelaki. Setidaknya, itu kuketahui dari bisik-bisik mereka tentangku. Kenapa aku tahu? Menguping? Tentu tidak. Sebagian karena mereka terang-terangan mengatakannya di depanku. Menggodaku, tapi aku cuek saja. Sebagian lagi dari gosip sesama perempuan teman sekelasku.

Banyak teman lelaki, sekelas atau dari kelas lain juga dari kakak tingkat yang mendekatiku. Aku sempat merasa begitu tersanjung, kagum pada diriku sendiri. Aku merasa begitu populer di sekolah. Jika hari valentine tiba, bisa dipastikan akulah gadis yang paling banyak menerima ucapan selamat di tanggal 14 Februari itu. Entah melalui pesan singkat, sapaan langsung, kartu ucapan, mawar, coklat, boneka, kado, dll. Sebagian dari pemberian para lelaki itu, aku tak berencana ingin memilikinya.

Tak jarang aku harus terbiasa dengan hari valentine yang selalu mengundang dan memunculkan niat para lelaki untuk menyatakan cintanya padaku. Tapi kutolak semua. Tak ada lelaki yang kucintai. Mungkin karena banyaknya jumlah mereka, aku tak yakin dengan lelaki-lelaki itu. Setidaknya belum, belum kujumpai lelaki yang sungguh-sungguh mencintaiku.

Kau penasaran? Kenapa tak ada lelaki yang kuterima cintanya? Karena aku masih ingin sendiri. Menikmati hari. Sendiri itu menyenangkan. Aku bisa meluangkan waktu untuk belajar atau membaca dan mengetahui banyak hal. Aku ingin belajar banyak hal, ingin tahu mengenai hal-hal yang tak kutetahui.

Terkadang sempat terlintas dipikiran, keinginan memiliki pendamping. Dan terkadang aku lebih yakin tentang jodoh yang tak akan lari kemana pun. Lebih yakin lagi, bila sudah jodoh, pasti dia yang entah siapa akan jadi pacarku suatu saat nanti.

Orang tuaku malah tak sependapat tentang sikapku itu. Mereka selalu bertanya padaku, mengapa aku tak juga memiliki pacar. Mereka sangat khawatir. Berkali-kali pertanyaan mereka kutepis dengan pernyataan, aku masih mau menyelesaikan studiku dulu. Enteng, bukan. Itulah aku yang tak ingin direpotkan mengenai lelaki.

Tetapi, jawabanku itu tidaklah cukup untuk memuaskan rasa ingin tahu kedua orangtuaku. Setiap makan malam, mereka selalu memberondongku dengan segudang pertanyaan juga bujukan. Dari makan malam ke makan malam berikutnya. Dari hari ke hari. Hingga waktu berputar lagi, dari pagi, malam dan pagi kembali serasa menggangggu. Selalu muncul lagi pertanyaan-pertanyaan mereka di benakku.

“Mama takut, kamu tak menyukai lelaki,” kata ibuku.

“Atau jangan-jangan...” kakakku mendadak menimpali.

“Maksudnya?” ibuku penasaran.

Kedua oarangtuaku sepertinya tak sabaran melihatku menggandeng seorang lelaki. Mereka mulai aneh dan terlalu jauh menafsirkan tentang diriku. Begitu juga kakakku itu. Tapi, apakah benar yang dikatakan mereka itu? Kurasa tidak. Aku baik-baik saja.

* * *

Bermula dari ajakan sahabat satu kampusku. Suatu hari dia menelponku, menanyakan keberadaanku.

“ Cin, kamu lagi dimana?” katanya.

Dia masih memanggilku seperti dulu, Cinta, disingkat dengan Cin. Panggilan akrab dari seorang sahabat lama.

“Sudah lulus ya?” dia keheranan. “Wah, hebat. Kalau begitu kamu harus traktir aku ya?” desaknya.

Dan aku mengiyakan ajakannya. Aku sudah berjanji padanya, dulu, ketika masih bersama-sama kuliah menempuh pendidikan S1. Kami berteman akrab. Satu kos. Saling curhat, kadang sampai pagi dan tidur pun seranjang. Maklum kami selalu mencari tempat kos yang murah meriah.

Akhirnya, malam itu kami tertawa. Girang dan bahagia. Cekikikan, terbahak, sesekali saling meledek seperti masa SMA dulu. Banyak hal yang kami ulas dan ceritakan. Tentang dia yang kini sudah memiliki suami dan anak. Tentang diriku yang masih lajang hingga usia 30 tahun. Tentang segala hal. Juga tentang teman-teman cowok yang sering PDKT ketika SMA dulu. Kami hanyut dalam obrolan tanpa ujung itu.

Sampai waktu di jam tangan menunjukkan dini hari. Tak terasa waktu cepat berlalu. Begitulah obrolan yang selalu mampu meringkas waktu. Dan akhirnya, dia menawariku untuk menginap dirumahnya.

Aku mengiyakannya. Tak curiga atau berprangka buruk padanya. Toh sejak kuliah kami memang selalu bersama.

“Yang penting tak mengganggu keluargamu,” kataku, sambil tersenyum.

“Mumpung suamiku lagi tak ada,” jawabnya, juga dengan senyuman.

* * *

Sekarang, aku harus menggadaikan cintaku di tempat ini. Aku harus bersabar menunggu setiap lelaki yang sudi mampir walau hanya berbekal cinta kilat dan akan lenyap dalam semalam saja. Dari malam ke malam begitulah, aku menunggu lelaki demi lelaki yang sudi mampir.

Apa kau mau tahu pekerjaanku? Pekerjaan menunggu lelaki. Itu yang kulakukan. Pekerjaan yang sangat tak sesuai dengan keahlianku. Aku seorang sarjana. Dikatakan, seorang yang berpendidikan tinggi. Tapi kini berusaha merelakan, menggadai tubuhku di tempat pelacuran ini.

Temanku, yang setahun lalu mengajakku makan malam untuk merayakan kelulusanku lalu menawariku untuk menginap, ternyata ia dan suaminya adalah sepasang mucikari. Aku ditipu olehnya. Aku disekap dan diancam setelah sempat menginap di rumahnya. Semenjak itu aku dipaksa melayani setiap lelaki yang datang ke rumahnya. Rumahnya tempat pelacuran yang berkedok salon kecantikan.

Kini walaupun temanku dan suaminya sudah ditangkap polisi. Ketika ada seorang polisi yang tak sengaja datang untuk pelesiran. Dan tak sengaja pula dia memilihku untuk melayaninya malam itu. Dan tak sengaja pula malam itu kami hanya bercerita panjang lebar hingga tak sengaja kusampaikan siapa aku dan mengapa bisa berada di tempat ini.

Entah kebetulan, esoknya, tempat pelacuran yang telah menyekapku sekian tahun diciduk polisi. Dipimpin langsung oleh lelaki yang semalam minta ditemani olehku itu.

* * *

Ah, sekarang aku menyesal. Menyesal dengan semua penolakan yang pernah kulakukan pada lelaki yang datang membawa cintanya padaku. Menyesal karena aku terlalu fokus, sentimental berlebihan dan teramat mementingkan studiku, menggilai studi tepatnya. Menyesal karena aku merasa cantik. Merasa paling cantik dari perempuan kebanyakan. Menyesal pada pernyataanku sendiri bahwa bila sudah jodoh, pasti dia yang entah siapa akan jadi pacarku suatu saat nanti. Sehingga saat itu aku luput pada lelaki yang tak pernah kusadari begitu mencintaiku dengan sepenuh hati.

Dialah, polisi yang menyelamatkanku. Dia juga temanku di sekolah menengah dulu. Dia berniat menikahiku. Tapi, aku menolaknya. Aku telah kehilangan kesucianku, tak akan mampu memberi keturunan padanya. Aku divonis kanker rahim juga AIDS. Umurku tak lama lagi.

Suatu hari, saat matahari berada pada titik tertinggi, tepat di atas kepala. Pada saat itulah aku merasa sangat cemas pada keadaanku. Pada tubuhku yang mulai tak biasa. Ada sesuatu yang tak biasa akhir-akhir ini. Aku tak begitu paham apa yang terjadi, tapi, mungkin inilah keanehan yang baru kuketahui bahwa aku memilikinya. Keanehan ini berada di dalam tubuhku. Sebentar lagi. Aku menemuimu Tuhan.

Denpasar, 2010 –2011
Putu Gede Pradipta

0 komentar:

Posting Komentar