Hikayat Kecoa
Ia serupa perangkak
Dengan 3 pasang kaki penumpu
Membawa tubuh pipih memanjangnya
Menyusur malam ke malam
Tiada henti
Hanya demi sesuap
Serasah kamboja mati
Ia tahu betul
Akan situasi yang menguntungkan
Maka ketika pagi datang
Lenyap sudah
Tiada gelagatnya lagi
Dan setiba malam turun
Maka ia bangun dari semadi
Bergerak kembali
Tiada henti
Untuk sekali lagi
Mengincar kamboja mati
2011
Kuningan XXIII
Purnama adalah bahasa
Ia jatuhkan mata cahaya
Agar kita tulus mengerti
Sekalipun dalam mimpi
Kita yang dilanda gigil
Cahaya tetap sampai
Dalam perayaan ini
Banyak doa terberi
Pada si pemilik jagat
Di sebuah pelataran pura
Berteman nyala dupa
Dan bunga segala warna
Mulailah berkidung sepi
Katakan mengapa kita
Masih percaya pada puisi
Mengapa bukan lidah kata
Sekedar gaya ucap makna
Godaan nalar belaka
Sebelum dada beku
Dikutuk oleh waktu
Mari melangkah maju
Denganku yang berpuisi
Kita merayakan purnama
Menampung semua cahaya
15 Juli 2011–16 Juli 2011
Galungan XXIII
Serupa jelujur bambu
yang segera ditancap
di depan gerbang rumahmu
menghadap arah jalan
Begitu mudahnya
ada kedatangan dan kepergian
Begitu pula ketergesaan melanda
dengan getar lagu balada
dengan siul layu janurnya
Senja memasuki tubuhmu juga
yang tanpa pintu
angin berhembus aku tertembus
aku berikan semesta
memberkati nafas kita berdua
Bagaimana kini kau tahu
usahaku yang melengkung
mencapai ketinggian angin
Meski limbung
senantiasa juga singgah
merebah di dahan-dahan
Langit luas. Langit begitu luas di atas
burung dan hutan di seberang
Di sini tanah memeram akar
menyerap petuah kata
menyimpan hujan air mata
5 Juli 2011 ̶ 6 Juli 2011
Puisi di atas dimuat di Kompas.com
0 komentar:
Posting Komentar