Rabu, 07 Desember 2011

3 Puisi Putu Gede Pradipta

Hikayat Kecoa
 
Ia serupa perangkak
Dengan 3 pasang kaki penumpu
Membawa tubuh pipih memanjangnya
Menyusur malam ke malam
Tiada henti
Hanya demi sesuap
Serasah kamboja mati
 
Ia tahu betul
Akan situasi yang menguntungkan
Maka ketika pagi datang
Lenyap sudah
Tiada gelagatnya lagi
 
Dan setiba malam turun
Maka ia bangun dari semadi
Bergerak kembali
Tiada henti
Untuk sekali lagi
Mengincar kamboja mati
 
2011
 
 
Kuningan XXIII
 
Purnama adalah bahasa
Ia jatuhkan mata cahaya
Agar kita tulus mengerti
 
Sekalipun dalam mimpi
Kita yang dilanda gigil
Cahaya tetap sampai
 
Dalam perayaan ini
Banyak doa terberi
Pada si pemilik jagat
 
Di sebuah pelataran pura
Berteman nyala dupa
Dan bunga segala warna
 
Mulailah berkidung sepi
Katakan mengapa kita
Masih percaya pada puisi
 
Mengapa bukan lidah kata
Sekedar gaya ucap makna
Godaan nalar belaka
 
Sebelum dada beku
Dikutuk oleh waktu
Mari melangkah maju
 
Denganku yang berpuisi
Kita merayakan purnama
Menampung semua cahaya
 
15 Juli 2011–16 Juli 2011
 
 
Galungan XXIII
 
Serupa jelujur bambu
yang segera ditancap
di depan gerbang  rumahmu
menghadap arah jalan
 
Begitu mudahnya
ada kedatangan dan kepergian
 
Begitu pula ketergesaan melanda
dengan getar lagu balada
dengan siul layu janurnya
 
Senja memasuki tubuhmu juga
yang tanpa pintu
angin berhembus aku tertembus
aku berikan semesta
memberkati nafas kita berdua
 
Bagaimana kini kau tahu
usahaku yang melengkung
mencapai ketinggian angin
 
Meski limbung
senantiasa juga singgah
merebah di dahan-dahan
 
Langit luas. Langit begitu luas di atas
burung dan hutan di seberang
 
Di sini tanah memeram akar
menyerap petuah kata
menyimpan hujan air mata
 
5 Juli 2011 ̶  6 Juli 2011
 
 
Puisi di atas dimuat di Kompas.com

0 komentar:

Posting Komentar