Selasa, 19 Juli 2011

Tangisan Claudia*


“Arrrrrgghhh… Mama!!!!!!!!!!!!!!!” teriak Claudi tersentak terbangun dari tidur yang tak  ia inginkan. Lagi-lagi mimpi itu kembali datang. ia tak tahu, ia takut. Tak pernah Claudi dapatkan kehidupan yang tenang, inikah takdirnya? Claudi tak sanggup jika terus seperti ini.
            Claudi tahu, teriakkannya pasti membangunkan seisi rumah yang ia huni bersama ayah dan ibunya. Ia tahu pula, teriakkannya malam ini bukanlah yang pertama, melainkan teriakan yang telah terjadi kesekian kalinya, selama sebulan ini. Dahulu Claudi begitu istimewa, perawakannya yang langsing dengan wajah yang mendukung membuat ia sangat cantik dan anggun. Tetapi, kondisinya sekarang sangat memprihatinkan. Kecantikan dan keanggunannya sebagai seorang gadis hampir menghilang, tubuhnya kini begitu kurus, wajahnya cekung tajam, kantung matanya begitu hitam lantaran jarang tidur, ia pun lebih sering berdiam diri di kamar, jarang sekali ia bergelut dengan dunia luar, seolah-olah ia tak ada lagi di dunia ini. Hidupnya tak bisa tenang lantaran ia terus menerus menerima tekanan mental dari rasa bersalahnya, rasa penyesalannya, rasa kesedihannya atas kekasihnya, Qindy.

1 bulan yang lalu…
            “Aku sayang Abang.” ucap Claudi pada sebuah cafe yang berada tak jauh dari kampus mereka.
            “Hmm. Aku juga sayang Adek.” balas Qindy, diringi senyuman lembut darinya. Qindy pun mengelus rambut Claudi dengan perlahan, seraya menikmati minuman dingin yang tersedia di depannya.
            “Kapan kita akan menikah, Bang? Tahun ini kuliahku selesai, Abang pun begitu.” ucap Claudi pelan, tapi antusias. Memang, hubungan mereka telah terbilang memasuki jenjang pernikahan. Kuliah hampir mereka selesaikan, tinggal menyusun skripsi. Lalu, menikahlah mereka.
            “Iya, selesaikan kuliah kita dulu, Adekku sayang. Ingin kita menikah dalam keadaan yang kurang matang?” jelas Qindy santai. Sore itu, mereka berdua berbincang dengan santai dan nyaman. Hal itu terus menerus dilakukan, tanpa ada rasa bosan, tanpa ada rasa jenuh ataupun perasaan lainnya.

Seminggu kemudian…
 “Abang kenapa sih?” tanya Claudi gelisah, di sebuah cafe tempat Qindy bekerja dalam kurun waktu 3 tahun itu. Claudi gelisah lantaran sikap Qindy yang mulai berubah, mulai menjauhi Claudi. Walau masih berupa prasangka.
“Oh, tidak kenapa-kenapa, Adek.” sahutnya singkat, melanjutkan pekerjaan mengantar pesanan ke meja-meja pengunjung.
“Abang! Ini serius!” tegas Claudi kesal, ia merasa tidak dianggap. Sudah hampir setengah jam ia berdiam menunggu di cafe itu, lantaran ia tidak sabar untuk menanyakan semua hal yang mulai diluar kendali dan sepengetahuannya.
“Abang lagi sibuk, Claudi!” sanggah Qindy pelan, saat menghampiri kekasihnya.
“Serius, Bang! Claudi lelah!” keluhnya lagi, mulai menangis.
“Lelah? Lelah atas apa? Menunggu?” ucap Qindy, kemudian duduk menemani kekasihnya yang menangis. Wajahnya tampak memerah emosi, rasa kesal mulai tampak dari raut wajahnya.
“Tidak, hikss hhh tapi lelah atas semua ini! Hhhmhiks Bang, Claudy takut Abang berubah! Dan meninggalkan Claudi! Hiiks hiiks” ucap Caludi lagi, menangis seraya menutupi tangisannya dengan kedua telapak tangannya yang lembut. Ia tak ingin orang lain melihat tangisannya, walaupun Qindy sekalipun.
“Jangan menangis, Adekku. Abang memag sibuk beberapa pekan ini! Ada yang harus Abang persiapkan!” tegas Qindy, mulai menyingkap kedua tangan Nina. Ia berusaha mengusap tangisan Nina.
“Bohong! Abang bohong!” sanggah Claudi, menyingkirkan tangan kekasihnya.
“Abang serius!” ucap Qindy membalas.
“Bohong! Abang bohong! Walaupun sibuk, biasanya Abang selalu memberitahu Claudi atas apa yang Abang sibukkan, iya kan? Tapi sekarang? Abang jelas merahasikan sesuatu dari Claudi!”
            “Clau…” kalimat Qindy terpotong.
            “Terserah Abang mau bicara apa! Cukup!” Claudi berdiri dan berlari meninggalkan Qindy.
            “Claudi, Tunggu!” teriak Qindy memecah suasana di café itu. Mengalihkan perhatian para pengunjung lainnya. Qindy mengejar Cludi yang berlari, dan akhirnya ia kehilangan jejak Claudi. Qindy mematung, menundukkan kepalanya. Kemudian berbalik badan, dan tiba-tiba…

Tiiiiiiiiiiiinnnnnnn!!! Braaaaaaaaaak!

Malamnya…
Di kediaman Claudi.

            “Abang jahat! Claudi benci. Claudi tak ingin bertemu abang lagi! Hiiks.hikks.” ucap Claudi tetap menangis, tampaknya ia tak bisa menghilangkan rasa sedih dan kesalnya. Semenjak kejadian sore itu, Claudi tak beranjak dari kamarnya, ia terus berdiam di kamar. Sesekali ia melihat ke arah halaman depan, berharap Qindy dating meminta maaf atau sekedar menyusulnya. Tapi Qindy tak kunjung datang, membuat rasa kesal dan sedih Claudi menjadi tak kunjung reda.
            “Tiiiiitttt. Trringgg.” sebuah dering sms mengagetkan Claudi. Denagn sigap ia menyambar handphone mungilnya itu, berharap itu sms menggimbarakan dari sang kekasih.
            “Huft. Bukan dari Abang. Dari Santi toh.” lirih Claudi tak jadi gembira. Ia pun membuka isi sms itu, isi sms yang akan merubah hidupnya secara keseluruhan.



Innalillahi wa inna ilaihi rojiun. Claudi, mohon kamu tabah ya syg. Ini kabar buruk. Aku baru mendapat infonya dari Radith. Qindy, pacarmu kecelakaan tadi sore di simpangan dekat café. Qindy tak bisa diselamatkan. Barusan ia meninggal di RSI Aminah Wati. Ia tidak dapat bertahan lagi, Clau.. Kamu yang tabah ya syg.



            “Aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa.. Abang!” teriak Claudi keras, di iringi tangisannya yang menjadi-jadi. Mengagetkan penghuni seisi rumah.


*karya Irvan Ramdanie, kelas XI Bahasa

0 komentar:

Posting Komentar