Ya?Balas dendam: Racun diri?
Alkisah ada seorang pengembara yang sedang menyusuri sawah yang penuh dengan ular. Kedua pengembara ini belum mengetahui kalau di sawah itu banyak ularnya. Maka pada suatu saat, seekor ular berbisa menggigit tangan pengembara itu dengan tiba-tiba. Pengembara itu seketika marah lalu mengejar ular itu dengan beringas. Mengambil kayu yang selalu dibawanya dan dengan bersusah payah menangkap ular itu. Dengan keringat yang bercucuran, kepala ular itu dipegang dengan erat-erat. Ular yang tidak berdaya itu kemudian dibunuh dengan sekali tebasan. Dan akhirnya tamatlah riwayat ular itu. Sementara sang pengembara tertawa keras melihat sang ular mati, tidak menyadari bisa ular dari tempat gigitannya telah menyebar luas ke tubuhnya dengan cepat akibat aktivitas berat yang telah dilakukan sang pengembara. Bukannya fokus menahan laju bisanya, sang pengembara justru berkeras memuaskan nafsu marahnya yang sesaatnya untuk membunuh ular itu. Begitupula yang terjadi dengan ular itu, sang pengembara itu pun tewas karena kebodohannya sendiri.
Cerita ini mengingatkan kita pada satu hal. Amarah sesaat bukan merupakan solusi terbaik untuk menyelesaikan masalah. Keputusan yang diambil disaat kita marah adalah keputusan yang justru akan menjerumuskan kita ke lubang yang lebih dalam lagi.
Begitupula dengan dendam. Ketika seseorang “menggigit” kita, tentu kita akan marah. tapi apakah membalas merupakan jalan yang terbaik? Sementara kita asyik membalas dan tertawa diatas penderitaannya, kita telah menyebarkan “bisa” itu begitu cepat hingga kita tidak menyadari nurani kita telah mati. Kita tidak ubahnya menjadi orang yang kita balas itu.
Jalan yang terbaik adalah lepaskan dendam itu. Memaafkan bukan berarti kita tunduk dengan orang lain. Memaafkan membersihkan tubuh kita dari racun. Menghentikannya sebelum racun itu menggerogoti hati kita. Seperti halnya kita menghadapi bisa ular. Hentikan aliran darahnya, bersihkan racunnya, dan memberikan obat penawar.
By: Rastu Karyana
0 komentar:
Posting Komentar