Oleh I Putu Gede Pradipta
shutterstock |
Sedikit agak lancang mungkin bila penulis sampaikan ini, berupa kata-kata yang akan tersusun jadi sekian kalimat berbadan tiap paragraf. Apalagi tentang sesuatu yang agak asing dan sungguh saya tak ingin dan tak berani berlebihan dalam menuliskannya. Tapi ijinkan saya mencoba mengurainya perlahan, dengan cara saya yang sederhana (mungkin).
Saya mencoba mengulas tentang puisi dari perspektif saya sendiri. Saya nantinya akan menukik secara subjektif, tentang yang saya rasakan bagaimana mengartikan “puisi dan sebuah selera” seperti judul yang saya gunakan untuk tulisan yang lebih menyerupai catatan ini.
Walau puisi dunia asing, seperti yang ditulis Damhuri Muhammad, tetapi sesungguhnya kita tak boleh menyangkal dengan mengatakan kalau kita tak kenal dengan puisi. Saya yakin tentang hal ini dan tak ragu. Kenapa? Alasan sederhananya adalah, karena puisi telah menjadi bahasan kita (dalam cakupan relatif) mulai dari duduk di bangku sekolah dasar hingga menengah. Apalagi bagi yang memilih spesifikasi jurusan sastra di perguruan tinggi.
Lalu, apakah dengan begitu kita semua paham dengan puisi? Misalnya saja, kita disodori sebuah puisi berjudul “Aku” karya Chairil Anwar ke hadapan kita, kemudian kita ditanya, “Apa maksud puisi ini? Atau apa yang bisa anda tangkap dari puisi ini?”
Dari sekian pertanyaan yang sama dilontarkan ke sekian orang, apa yang akan dijawab oleh mereka? Yang saya ingin tahu bukan sekedar ketepatan jawaban mereka masing-masing tentang puisi yang disodorkan itu karena saya sendiri pun tak akan bisa menakar ketepatan maksud puisi karya Chairil Anwar itu bila saya sebagai orang yang menyodorkan pertanyaan itu kepada anda-anda.
Tapi coba kita perhatikan dengan perlahan dan seksama, ada sesuatu yang bisa kita cerna dan mungkin akan luput bila tak awas memperhatikannya. Apa itu? Sesuatu yang menjadi muatan di setiap jawaban yang disampikan oleh mereka (anda-anda). Ya, selera. Ada muatan selera di tiap jawaban yang akan mereka luncurkan untuk menanggapi puisi tersebut.
Selera itu sendiri kembali bergantung atau selaras dengan subjek si pemiliknya. Selera tiap orang tak bisa disamakan apalagi sengaja diseragamkan. Dan untuk selera ini cukup memiliki porsi penting dalam sebuah pemaknaan puisi.
Tapi yang perlu diwaspadai bagi para penyair, jangan sampai karena selera yang subjektif ini sampai membuat si penulis puisi merasa risih dan mandeg menulis kembali hanya karena puisinya tak mendapat respon positif dari pembaca. Sebuah puisi ketika dipublikasikan, sudah bisa dikatakan tidak saja milik penyairnya tetapi menjadi bagian dari pembacanya, bagian dari sekitarnya, bahkan milik bersama! (*)
Denpasar, 5-4-2011
0 komentar:
Posting Komentar